Mata Rantai yang Hilang
Admin GKI-IAT | Diposting pada |
Nas: Hai bapak-bapak, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya. (Kolose 3:21)
Andai kata Adolf Hitler tidak mengalami masa kecil yang suram, genosida terhadap jutaan orang Yahudi mungkin tak akan pernah tercatat dalam lembaran hitam sejarah umat manusia. Fase awal dalam hidup Hitler, terutama yang menyangkut hubungan dengan sang ayah, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tahapan kelam tersebut dapat dianggap sebagai satu mata rantai yang hilang dari tahapan pertumbuhan dirinya sebagai manusia.
Sosok ayah dalam keluarga memegang peranan yang tak dapat dipandang sebelah mata bagi perkembangan kepribadian anak-anaknya. Untuk itulah, Rasul Paulus mengingatkan para ayah agar mereka dapat menjalankan peran secara optimal. Sebagai kepala keluarga, mereka harus mengasihi dan tidak berbuat kasar terhadap para istri (ay. 19), serta tidak melontarkan kata-kata yang menyakiti hati anak-anak (ay. 21).
Perkataan dan perbuatan mereka yang menyukakan hati para anggota keluarga berperan besar dalam membentuk keluarga sebagaimana yang dikehendaki Allah. Anak-anak mereka pun akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang berkenan di hadapan-Nya. Pertumbuhan pribadi yang sanggup menunjukkan jati diri sebagai anak-anak Allah, yang senantiasa berbuat kebenaran dalam hidup mereka (1 Yoh. 3:10).
Hidup manusia dapat dimaknai sebagai mata rantai yang saling berkaitan. Peran seorang ayah menjadi penting dalam memastikan tidak ada mata rantai yang hilang dari setiap tahapan pertumbuhan anak-anaknya. Berpegang pada prinsip kebenaran firman Tuhan adalah penentu kesuksesan peran yang harus dimainkannya
TAK BAKAL ADA MATA RANTAI YANG HILANG, DARI SETIAP TAHAPAN PERTUMBUHAN ANAK-ANAKNYA, MERUPAKAN JANJI SEORANG AYAH YANG TAKUT AKAN TUHAN
(==** HIDUP ANDA DIBERKATI** ==)
Tinggalkan Balasan