Standar Kebahagiaan
Admin GKI-IAT | Diposting pada |
Nas: ” Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Matius 5:12)
“Bagaimana saya bahagia kalau rumah saja masih kontrak?” “Kalau saya, tinggal di rumah kontrakan bahagia-bahagia saja, selama masih kumpul dengan anak-istri.” “Sekalipun sudah punya rumah sendiri, kalau tidak punya penghasilan, bagaimana mau bahagiakan anak-istri?” “Penghasilan saya besar. Kebutuhan hidup tercukupi. Tapi saya tidak bahagia karena penyakit yang saya derita.”.
Apa patokan yang menjadi standar kebahagiaan? Setiap orang bisa memiliki standar yang berbeda satu dengan yang lain. Tercapainya sebuah harapan bahkan tak selalu menjamin terwujudnya kebahagiaan. Lalu, bagaimana standar kebahagiaan yang semestinya dihidupi orang percaya? Jangankan memiliki banyak uang, kebutuhan hidup tercukupi, atau bebas dari sakit-penyakit. Tuhan Yesus justru mengajar para murid untuk berbahagia sekalipun tidak berdaya, berdukacita, bahkan diperlakukan dengan tidak adil setelah melakukan yang benar. Tuhan Yesus menekankan bahwa kebahagiaan adalah milik orang yang rendah hati, mau melakukan yang benar melebihi hal lain, berbelas kasih, memiliki pikiran yang murni dan bekerja membawa damai.
Tuhan mengajak umat mengenal kemiskinan rohani, yakni kesadaran bahwa kita benar-benar membutuhkan Tuhan. Pun dukacita yang diperlukan untuk berbalik dari dosa menuju kebergantungan hidup kepada-Nya. Dengan hidup yang terus disucikan, kita melihat kehadiran Allah di tengah dunia. Dengan demikian kita akan beroleh kebahagiaan surgawi. Damai Bapa tinggal dalam hati kita, kita pun dapat membawa damai bagi sesama.
JANGAN KATAKAN KEBAHAGIAANKU HANYA BERSUMBER DARI ALLAH JIKA STANDAR KEBAHAGIAAN KITA ADALAH KEPUASAN DAN PENGAKUAN DUNIA.
(==** HIDUP ANDA DIBERKATI** ==)
Tinggalkan Balasan